Monday 29 May 2017

#kamitidaktakut

Saya pertama kali mengenal hashtag ini saat tahun lalu, ketika bom di Sarinah menjadi peristiwa yang menambah sejarah terorisme di Jakarta.
Dan dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya tidak bisa membohongi diri saya sendiri.
Saya takut.
Pemikiran bahwa bisa jadi, dalam gerbong di kereta, orang yang membawa tas yang besar, berisi bom.
Bisa jadi, dalam sebuah mall, baik itu sepi dan ramai, di lantai tempat saya berpijak adalah tempat sebuah kaca pecah karena bom.
Bisa jadi, ketika saya dan Jessy mengikuti aksi unjuk rasa di Tugu Proklamasi kemarin selesai magang, di antara kerumunan tersebut, ada orang yang melempar bom sebagai wujud menentang.
Bisa jadi, ketika saya malam-malam naik gojek, motor yang saya naiki dicegat kemudian diserang oleh orang-orang yang mengancam nyawa saya.
Saat saya sering begadang di McD untuk mengerjakan skripsi sampai malam, dan pulang naik gojek, atau ketika saya menyebrang di jembatan penyebrangan yang sangat gelap, hampir selalu terpikir mungkin mulai hari ini saya harus membawa pisau lipat untuk hari-hari kedepannya, tetapi pemikiran itu sampai saat ini belum atau mungkin tidak pernah saya wujudkan, yang tahu adalah masa depan.
Mungkin saya sebagai manusialah yang harus mulai berpasrah-pasrahnya, dengan keadaan yang mulai tidak memanusiakan manusia.