Adalah Edwin, pemilik dari
"Secangkir Teh Campur Badai" yang saat ini akan segera disibukkan oleh magang, saya mengajaknya untuk saling melempar pertanyaan yang random untuk dijawab dan ditulis di blog masing-masing, ini pertanyaan dia untuk saya, dan inilah jawabannya :
Mengapa memilih SMA di sebuah asrama di
Jogja?
Sebenarnya, dulu dianjurkan untuk tetap
masuk ke Santa Ursula BSD, lagi. Tapi ada dorongan tersendiri yang sebenarnya muak
untuk menjalani rutinitas seperti ini. Sekolah yang disiplin, menegangkan,
membuat saya terancam hampir tidak naik kelas, dan bikin sakit perut setiap
harus ke sekolah. Sebenarnya bukan itu alasan utama, tetapi intinya kenangan
saya buruk akan sekolah itu, bahkan dengan lingkungan tempat saya tinggal. Oleh
karena itu saya merasa saya harus keluar, harus merasakan tinggal di asrama.
Penasaran sekali dengan kehidupan di asrama. Meskipun kalau dipikir-pikir,
asrama pasti lebih ketat peraturannya. Mungkin karena saya pikir, dengan
tinggal di asrama, segalanya akan “terisolasi” kali ya.
Saat itu, ada tes saringan masuk
untuk melanjutkan ke SMA Santa Ursula BSD, saya pun mengikutinya karena
keinginan orang tua. Namun hasilnya benar-benar tidak maksimal dan saya pun
tidak diterima. Saya ingat keadaan saat itu sangat hectic karena harus segera
mencari sekolah yang mau menerima saya. Sekolah-sekolah terdekat pun juga pernah
saya jalani tes masuknya. Namun meskipun diterima, saya tetap menolak dan ngotot
pergi ke Jogja. Proses dan perdebatannya amat sangat panjang. Kilas balik, bisa
dibilang itu adalah masa dimana saya merasa saya paling rebel dan sampai
sekarang pun masih bingung kenapa akhirnya saya bisa di Jogja. Tapi saya merasa
saya butuh masa dimana saya “bebas”, dan keluar dari zona nyaman. Dan saya
rasa, pilihan hidup sampai saat ini yang tepat adalah dengan merasakan SMA di
luar kota dan merantau disana J
Tapi soal kedispilinan, sanur memang amat sangat patut diacungi jempol. Saat SMA sudah tidak disana pun, kedisiplinannya masih melekat, saya menjadi benar-benar taat peraturan dan
paling malesin kalo melihat orang yang tidak mematuhi peraturan yang sudah ada
hanya karena alasan yang tidak rasional.
Meskipun di masa perkuliahan benar” berbanding terbalik 180
derajat. Suatu saat ketika berkarir saya harus merantau.
Mengapa sinematografi?
Sebenarnya sederhana, karena saya suka membayangkan
adegan-adegan sederhana lalu membayangkan kalau adegan tersebut diterapkan dari
segi sinematografi. Saya orangnya juga random, overthinker dan lebay, jadi
ingin memvisualisasikan hal itu ke dalam bentuk video. Selain itu seperti yang
Anda bilang, atau ketik lebih tepatnya:
“Kalo Cinem mungkin
butuh lebih peka sama lingkungan sekitar, soalnya kerjaannya mengangkat sebuah
masalah, bukan problem solving”.
Film apa yang paling ‘membekas’ di pikiran dan berhasil
merubah pola pikir/pandangan lu terhadap sesuatu?
Kalo sampai merubah pola pikir sih, belum ada sampai
sekarang, mungkin yang paling membekas aja ya, dua film ngga apa-apa kan?
Satu, Inception.
Keren, kereen sekali. Film ini baru bisa saya pahami setelah
7 kali menonton, dan semakin dimengerti, saya jadi memutar filmnya lagi.
Menurut saya film ini adalah “Wahana” mimpi. Semiotikanya di bagian ending
dapet banget.
Dua, Everybody’s Fine,
Maaf kalo curcol, tapi saya nonton ini waktu di asrama
sesudah UAN, lagi pada nginep bareng di kamar, dan waktu subuh-subuh udah pada
tidur dan saya belum bisa tidur, saya memutar film yang diputar oleh guru
bahasa Inggris saya dulu, yang memang suka menyajikan film-film bermutu. Lalu
saya sukses dibuat nangis, bener-bener nangis sampai sesenggukan. Saya lemah
sama film berbau family oriented :’). Film ini simple sih, menceritakan seorang
ayah yang mencari kabar 4 anaknya yang udah besar dan udah pada sukses. Mereka
di telpon selalu bilang “baik-baik aja” tapi sebenernya nggak demikian.
Satu lagi boleh ya? :’)
Tiga, What’s Eating Gilbert’s Grape,
Filmnya oom Leonardo DiCaprio waktu masih muda, tapi udah
bisa akting jadi orang cacat mental.
Sebagai seorang yang super-sibuk-banyak-banget-kegiatannya,
hal-hal apa yang membuat lu memutuskan masuk ke dalam sebuah organisasi?
Berawal dari organisasi di sebuah kepengurusan asrama. Saya
dulu tidak ingin mendaftar osis karena saat itu saya sedang menjadi siswa yang
mengejar ranking. Sejak tinggal di asrama pada waktu itu, saya mulai berani
untuk memberikan opini. Sayangnya di organisasi asrama saya hanya merasakan hal
tersebut selama satu tahun. Pernah terpikir untuk aktif berorganisasi di
kehidupan kuliah, tapi saat itu saya berpikir kuliah sudah harus fokus dengan
perfilman, yang ternyata sangat bertolak belakang sekarang :’)
Di masa perkuliahan, saya butuh refreshing. Semester 1-2,
saya memutuskan mengikuti 2 UKM sekaligus karena hal itu sebagai sampingan
ketika saya penat dengan tugas-tugas kuliah yang membludak, dan saya butuh
sampingan yang bermanfaat tidak hanya untuk kepentingan kesenangan sesaat
semata.
Di semester selanjutnya, ketika mulai tercebur dengan dunia
organisasi, saya mulai “betah” dengan kegiatan rapat. Meskipun pasti ada
kalanya penat akan rapat-rapat yang tidak sedikit jumlahnya, tapi disitu saya
bisa memahami aspirasi orang lain dan aspirasi saya sendiri.
Saya memutuskan untuk mendaftar BEM setelah tergabung dengan
kepanitiaan Miss UMN, saat itu, BEM masih menghandle acara Miss UMN dengan
koord. dipegang oleh anak BEM itu sendiri, saya yang dulu menjadi anggota merasa
kontribusi saya kurang dalam kepanitiaan tersebut, dan seperti ada sekat
pembatas seperti zona yang tidak bisa saya masuki padahal saya sendiri di
divisi program. Oleh karena itu saya mulai tergerak untuk mendaftar di BEM,
saya ingin terlibat secara langsung dengan hal yang bisa saya berikan
kontribusinya.
Dalam organisasi, kita bisa mengenal orang-orang yang
istimewa. Jujur, saya merasa dihargai karena setidaknya nama saya boleh “diketahui” dengan beberapa orang yang saya hormati, dan saya merasa terhormat
bisa bekerja sama dengan orang-orang yang spesial dan hebat. Hal itu menginspirasi saya. Dalam organisasi,
kita dipaksa untuk “terbuka”, terbuka untuk menyampaikan opini, terbuka untuk
menyanggah sesuatu dan terbuka untuk meminta bantuan jika kita sudah mencapai
limit yang tidak bisa ditempuh.
Selain itu banyak hal yang tidak bisa didapatkan jika hanya
berdasarkan materi kuliah saja. Dengan organisasi, saya paham betul pressure,
apa itu sebuah proses dan pengembangan dari sebuah konsep, tanggung jawab,
teamwork, leadership, time management, dan mungkin ini terdengar klise, tetapi
saya juga memperoleh “kebersamaan”.
Meskipun, ada “harga” yang harus dibayar ketika berkomitmen
pada sebuah organisasi. Ada satu hal lagi, dengan berorganisasi, waktu akan berjalan “cepat”.
Resolusi yang sudah dan belum tercapai di 2015?
Sudah tercapai :
- Kehidupan
organisasi. Dengan tergabung dalam organisasi BEM, dan kepanitiaan lepas
seperti Ultigraph dan UMN Screen pengalaman keorganisasian saya terasah dari
hari ke hari. Pengalaman itu benar-benar berharga bagi saya.
- Bisa nyetir dengan lancar, aman damai sentosa. Akhirnya saya mulai lebih bisa pengertian dengan
kopling, dan kopling pun bisa lebih mengerti saya (?)
- Apalagi
ya? Mungkin akhirnya saya juga bisa mengenal lebih dekat Adobe Premiere dan teman segengnya yang seharusnya bisa saya kuasai, meskipun masih harus lebih banyak belajar :')
Belum tercapai :
- Nonton
film secara rutin di bioskop, minimal satu bulan sekali. Atau seenggaknya di
laptop. Tapi sayangnya, saya gampang banget terdistract, atau cepet ngantuk
kalo nonton film.
- Membuat
project videografi di luar tugas kuliah. Ada satu musik yang menginspirasi saya untuk
membuat music video versi saya sendiri. Tapi belum terealisasi sampai sekarang.
Sebenarnya saya juga terinspirasi untuk membuat editorial video, lagi-lagi
masih terpendam di otak saja.
- …Saya
kangen menari :”)
- Tidur
jam 10 malam?
Terimakasih Din untuk pertanyaan dan jawabannya! :)